Jin dan Kehidupannya Bagian 4
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Hukum Pernikahan Jin dan Manusia Dalam Timbangan Syari’at
Mungkin kita sering mendengar adanya kisah terjadinya pernikahan antara
laki-laki dengan jin perempuan atau perempuan yang dilamar oleh jin laki-laki
baik di masa lampau maupun yang terjadi saat ini dan banyak manusia yang
mengakui dan meyakini hal ini.
Source: Prudencesinclair.com |
Menurut Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar, “Bagaimana pun juga, manusia
menganggap kasus ini adalah realita yang terjadi pada masa kini dan masa silam.
Hanya saja, kasus semacam ini sangat jarang didapatkan dan seandainya terjadi
pun, hal itu merupakan penyimpangan yang sangat jarang sekali. Orang yang melakukan pernikahan semacam ini
tidak lagi bertanya tentang hukum syari’at berkaitan dengan perbuatannya karena
pelakunya tidak berdaya atau tidak mampu mengatasi perbuatannya dan tidak bisa
melepaskan diri darinya."
Memang kebanyakan dari manusia itu dalam melakukan apa pun jarang sekali
bertanya kepada para ulama apa hukum dari perbuatan tersebut terutama yang
terkait dengan agama dan keyakinannya. Bahkan kebanyakan mereka hanya
ikut-ikutan saja dalam ibadahnya tanpa disertai ilmu. Kebanyakan manusia selalu
menganggap benar apa yang kebanyakan orang lakukan walaupun hal itu dilakukan
tanpa landasan ilmu yang benar.
Lalu, bagaimanakah hukumnya terkait hal ini? Terdapat perbedaan pendapat
di kalangan para ulama terkait hukum syari’at pernikahan antara jin dan
manusia. Tapi kebanyakan mereka melarang dan memakruhkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah seperti yang sudah kita bahasa
sebelumnya mengatakan bahwa para ulama berpendapat bahwa menikahi jin itu hukumnya
makruh.
Di dalam kitab Al-Ilham wal-Waswasah, bab pernikahan dengan jin, Abu
Utsman Sa’id bin Al-Abbas Ar-Razy berkata, “Kami diberitahu Muqatil, dari Sa’id
bin Abu Daud Az-Zunaidi, dia berkata, “Segolongan orang dari penduduk Yaman
menulis surat kepada Malik bin Anas, menanyakan pernikahan dengan jin. Isi
surat itu sebagai berikut: Di sini ada seorang laki-laki dari jenis jin melamar
seorang gadis, yang menurut penuturannya dia menginginkan cara yang halal. Dia
(Malik bin Anas) berkata, “Aku tidak tahu apakah yang demikian ini
diperbolehkan dalam agama. Tapi aku juga tidak suka jika seorang wanita hamil
lalu ditanya, ‘Siapa suamimu?’ Ia menjawab, ‘Suamiku dari jenis jin’, sehingga
hal ini menimbulkan kerusakan dalam Islam.”
As-Suyuthi mengatakan bahwa kami diberitahu Abu Bakar Bisyr bin Khalaf, dari Abu Ashim, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Al-Hajjaj bin Artha’ah, dari Al-Hakam bin Utaibah, bahwa dia tidak menyukai pernikahan dengan jin. Beliau juga mengatakan, Harb bin Al-Karmani menyebutkan dari Ahmad dan Ishaq, dari Anas bin Yazid, dari Az-Zuhri, dia berkata, “Rasulullah ﷺ melarang pernikahan dengan jin."
Kami diberitahu
Ibrahim bin Urwah, dari Sulaiman, dari Qutaibah, dari Uqbah Ar-Rumany, dia
berkata, “Aku bertanya kepada Qatadah tentang pernikahan dengan jin, dan dia
tidak menyukai hal itu. Lalu aku bertanya kepada Al-Hasan tentang pernikahan
ini, dan ternyata dia juga tidak menyukainya.”
Ibnu Abid-Dunya mengatakan di dalam Al-Hawatif, bahwa ada seorang
laki-laki menemui Al-Hasan bin Abul-Hasan seraya berkata, “Wahai Abu Sa’id, ada
seorang laki-laki dari jenis jin melamar salah seorang gadis kami.” Maka
Al-Hasan berkata, “Jangan kalian menikahkannya dan jangan pula kalian
memuliakannya.” Lalu orang itu menemui Qatadah dan berkata, “Wahai
Abul-Khathtab, ada seorang laki-laki dari jenis jin melamar gadis kami.” Maka
ia (Qatadah) menjawab, “Jangan kalian menikahkannya. Jika dia menemui kalian,
katakan kepadanya, “Kami akan mengusirmu. Kalau memang engkau jin Muslim,
tentunya engkau akan meninggalkan kami dan tidak mengganggu kami.”
Masih menurut As-Suyuthi, kami diberitahu Al-Fadhl bin Ishaq, kami
diberitahu Qutaibah, dari Sufyan, dari Al-Hajjaj, bahwa dia tidak menyukai
pernikahan dengan jin. Harb berkata, “Aku bercerita kepada Ishaq, bahwa ada
seorang laki-laki yang naik perahu. Ketika di tengah laut, perahunya pecah,
lalu dia menikah dengan wanita dari jenis jin. Maka dia (Ishaq) berkata,
“Pernikahan dengan jin adalah makruh.”
Syaikh Jamaludin As-Sijistani, salah seorang imam madzhab Hanafi
mengatakan di dalam kitab Minyatul-Mufti, “Pernikahan manusia dengan jin tidak
diperbolehkan, karena jenisnya yang berlainan.”
Sekelompok ulama berpendapat untuk melarang pernikahan jin dan manusia dengan
alasan bahwa Allah telah memberi anugerah kepada manusia dengan memberikan
pasangan dari jenis mereka sendiri berdasarkan pengertian dari dua ayat yaitu
Surat An-Nahl ayat 72 yang artinya, “dan Allah menjadikan bagi kalian
istri-istri dari jenis kalian sendiri.” Serta Surat Ar-Rum ayat 21 yang
artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk
kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri.”
Menurut para mufasir tentang ayat, “Menjadikan bagi kalian istri-istri
dari jenis kalian sendiri,” artinya dari jenis dan berdasarkan bentuk
penciptaan kalian, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya telah datang kepada
kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri.” (At-taubah: 128), artinya dari
jenis anak keturunan Adam.
Wanita yang dapat dinikahi juga adalah putri paman atau bibi dari garis
bapak dan putri paman atau bibi dari garis ibu, dan seterusnya hingga budak
wanita seperti dalam pengertian ayat, “…..dan anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki bapak kalian, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapak
kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu kalian dan anak-anak
perempuan dari saudara perempuan ibu kalian….”
Yang diharamkan selain mereka adalah garis keturunan yang pokok dan
cabang, cabang awal dari yang pokok dan awal cabang dari sisa yang pokok
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang menyebutkan para wanita yang
dilarang dinikahi. Semua ini berlaku dalam nasab. Padahal antara jin dan
manusia tidak ada nasab.
Seandainya terjadi pernikahan antara jin dan manusia, tidak akan terjadi
kerukunan dan keserasian antara suami istri karena adanya perbedaan jenis. Akibatnya,
hikmah perkawinan tidak terwujud karena tidak terwujudnya ketentraman dan kasih
sayang sebagaimana yang disinggung dalam Surat Ar-Rum ayat 21 di atas.
Selain itu, seandainya terjadi pernikahan antara jin wanita dan laki-laki
dari bangsa manusia maka akan banyak hal aneh yang perlu dipertanyakan:
- Apakah laki-laki dari jenis manusia dapat memaksa istrinya dari jenis jin berada di suatu tempat tinggal ataukah tidak?
- Apakah dia dapat melarang istrinya menampakkan dirinya dalam bentuk selain bentuk anak Adam, yang berarti istrinya harus memiliki sosok tertentu ataukah tidak dapat?
- Adakah pegangan bagi istri yang berkaitan dengan syarat-syarat pernikahan seperti walinya dan keharusan menghindari hal-hal yang dilarang dalam pernikahan ataukah tidak?
- Apakah yang demikian dapat diterima dari hakim jin ataukah tidak?
- Apakah istri dari jenis jin itu dapat dipercaya ketika dia muncul bukan dalam sosoknya, apakah dia dapat disetubuhi ataukah tidak?
- Apakah dia berkewajiban memberikan makanan bagi istrinya berupa tulang dan lain-lainnya ataukah tidak?
Dan masih banyak lagi hal lain yang perlu
dipertanyakan terkait hukum-hukum syari’at yang terkait hubungan rumah tangga
bagaimana cara menjalankannya jika pasangannya dari bangsa jin, seandainya
lahir keturunan dan seterusnya. Selain itu, karena manusia tidak bisa melihat
wujud asli bangsa jin kecuali dalam wujud penyerupaan, bagaimana cara manusia
memilih mereka bangsa jin untuk dijadikan pasangan? Oleh karena itu, salah satu
alasan dari orang-orang yang melarang pernikahan antar makhluk berbeda jenis
dan alam ini adalah tertutupnya tabir antara manusia dan jin karena suatu
alasan yang artinya merupakan sebuah larangan bagi kedua makhluk ini untuk saling
berinteraksi. Mereka yang melanggar aturan ini karena tidak menaati Allah.
Dalam Al-Wajiz
karangan Al-Yunusi, dia berkata, “Pernikahan dengan jin wanita merupakan bahan
kajian di kalangan muta’akhirin. Sebagian di antara mereka melarangnya. Sebab syarat
pernikahan harus kesamaan jenis. Sementara yang memperbolehkannya, beralasan
karena jin juga termasuk saudara kita. Di dalam bukunya Tauqiful-Hukkam ‘ala
Ghawamidhil-Ahkam dia berkata, “Alasan golongan yang memperbolehkannya karena
mereka (jin) juga disebut manusia, laki-laki dan wanita. Bahkan Nabi ﷺ menyebut
mereka sebagai saudara kita. Bukti lain yang membolehkannya bahwa ratu Balqis menikah dengan Sulaiman
padahal ibu Balqis adalah jin. Sekiranya pernikahan dengan jin tidak
diperbolehkan, tentunya pernikahan Sulaiman dengan Balqis juga tidak diperbolehkan,
karena dilihat dari sisi salah seorang kedua orang tuanya, mengharuskan
pengharaman pernikahannya.”
Bahasan
tentang orang tua Ratu Balqis sudah kita bahas pada tulisan sebelumnya bahwa hadist ini
dhaif. Seandainya diperbolehkan pun mungkin ini hanya kekhususan buat nabi
Sulaiman saja karena hanya beliau yang diberi kerajaan dan kekuasaan untuk menguasai
bangsa jin. Wallahu A’lam.
Mereka yang
memperbolehkan pernikahan antar dua dunia ini juga beralasan dengan surat
Ar-Rahman ayat 56 tentang bidadari surga seperti yang sudah pernah kita bahas. Menurut
mereka, ayat ini menunjukkan kelayakan bidadari itu untuk jin maupun manusia.
Mereka yang
memperbolehkan pernikahan ini juga mengatakan bahwa hadits larangan Rasulullah ﷺ untuk menikah dengan jin dapat ditakwil sebagai anak
zina. Ada pula hadits lain, “hari kiamat tidak tiba sebelum di tengah kalian
terdapat anak-anak jin.”
Pengarang
Fawaidul-Akhbar berkata, “yang dimaksudkan ‘Anak jin’ di sini adalah anak-anak
zina. Sebab dasar jin adalah pengingkaran, sehingga hadits ini dapat ditakwil
sebagai larangan menikahi wanita dari hasil zina. Ini semua merupakan perkataan
Al-Ammad.
ooOoo
ooOoo
Baca selanjutnya Jin dan Kehidupannya 5
Adham, Ibrahim Kamal. 2009. Kupas Tuntas Jin & Sihir. Jakarta: Darus Sunnah
Al-Asyqar, Umar Sulaiman. 2017. Rahasia Alam Malaikat, Jin dan Setan. Jakarta: Qisthi Press
As-Suyuthi, Imam. 2006. Jin. Jakarta: Darul Falah
Amri, Yasir dan Syahirul Alim Al-Adib. 2012. Sendiri Mengusir Gangguan Jin. Solo: Aqwam
Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2003. Alam Jin Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah (Bantahan terhadap buku: Dialog Dengan Jin Muslim). Jakarta: Darul Qolam.
Arifuddin. 2015. Ruqyah Syar'iyyah Tanpa Kesurupan Seri 1. Malang: YBM
Amin, Abul-Mundhir Khalil ibn Ibrahim. 2005. The Jinn and Human Sickness Remedies in the Light of the Qur'an and Sunnah. Riyadh: Darussalam.
Bali, Wahid Abdussalam. 2014. Ruqyah: Jin, Sihir & Terapinya. Jakarta: Ummul Qura.
______________. 2005. Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i
bin Najar, Nashir bin Ahmad. 2016. Mengatasi Sihir dan Kesurupan Sesuai Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Solo: Thibbia
Philips, Abu Aminah Bilal. 2012. Ibn Taymiyah's Essay on The Jinn (Demons). IIPH
Komentar
Posting Komentar