Me - Dia Sosial dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Anak-Anak dan Remaja
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Siapakah dewasa ini yang
tidak mengenal media sosial? Baik itu anak-anak, remaja maupun orang dewasa,
kebanyakan dari mereka sudah tidak asing lagi dengan istilah me-dia sosial
seperti FB, WA, Tik Tok, Instagram, Twitter dan sebagainya. Pernahkah Anda
karena begitu asyiknya bersosial media sehingga lupa waktu? Sebagai hasilnya
kita mungkin akan tertidur lebih lama dari biasanya. Itu hanya salah satu
contoh dari dark side media sosial. Dibalik beragam manfaat yang ditawarkan
oleh me-dia sosial ternyata tersimpan juga berbagai macam dampak negatif me-dia
sosial terhadap diri kita terutama terhadap kesehatan mental. Sebenarnya banyak
dampak negatif media sosial ini jika ditinjau dari berbagai sisi tapi di sini
kita hanya akan memfokuskan pembahasan dampaknya terhadap kesehatan mental
terutama terhadap anak-anak dan remaja.
Source: Freepik.com |
Menurut Wikipedia, anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Menurut psikologi, anak adalah periode perkembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun sekolah dasar.
Remaja merupakan sebuah fase pengembangan karakter yang ditandai dengan keingintahuan yang tinggi dan ketidakstabilan emosi. Masih menurut Wikipedia, Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak-anak. Remaja adalah masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa.
Sebelum kita membahas dampak negatif me-dia sosial terhadap kesehatan mental anak-anak dan remaja, kita akan membahas terlebih dahulu tentang definisi, jenis dan manfaat media sosial.
***
Pengertian Media Sosial
Apa itu media sosial? menurut Wikipedia, media sosial adalah sebuah media daring yang digunakan satu sama lain yang para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berinteraksi, berbagi, dan menciptakan isi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content."
Menurut Merriam-webster, media sosial adalah sebuah bentuk komunikasi elektronik (seperti situs web untuk jejaring sosial dan microblogging) di mana pengguna membuat komunitas online untuk berbagi informasi, ide, pesan pribadi, dan konten lainnya (seperti video).
Menurut dictionary cambridge, media sosial adalah website dan program komputer yang memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dan berbagi informasi di internet menggunakan komputer atau ponsel.
***
Jenis Media Sosial
Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial yang dapat dilihat sebagai berikut:
1. Proyek Kolaborasi.
Merupakan media sosial yang berbentuk website, dimana penggunanya diizinkan untuk mengubah, menambah, atau
menghapus konten di dalam situs tersebut. Contohnya adalah Wikipedia, Medium,
WordPress, dan lain sebagainya.
2. Konten. Pengguna
media sosial di dalamnya dapat berbagi konten seperti video, e-book,
dan gambar. Contoh penerapannya adalah Tik Tok, Instagram, dan Youtube.
3. Situs Jejaring Sosial.
Merupakan sebuah aplikasi yang mengizinkan penggunanya untuk dapat
terhubung dengan informasi pribadi yang telah dibuat. Informasi pribadi
tersebut berupa postingan foto atau video, contoh platform-nya
adalah Facebook dan Instagram.
4. Blog dan Microblog. Aplikasi
ini lebih dapat membuat pengguna bebas untuk mengekspresikan segala hal dalam sebuah blog yang
berisi curahan hati (curhat) maupun sebuah kritikan. Contoh platform yang
sering digunakan adalah Twitter dan Facebook.
5. Game World Virtual. Merupakan
sebuah dunia permainan berbasis virtual yang memungkinkan
setiap player untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dalam
bentuk avatar, selayaknya di dunia nyata. Contoh dari penerapannya
adalah online game (daring).
6. Social World Virtual.
Merupakan sebuah dunia sosial berbasis virtual yang juga
banyak diminati dengan menggunakan perangkat VR (Virtual Reality) yang
dipasangkan di areal mata manusia. Perbedaannya dengan game world
virtual terletak pada tujuan pengembangannya yang lebih ditekankan
pada penyesuaian dengan dunia nyata (real life). Salah satu contohnya
adalah second life.
***
Manfaat Media Sosial
Berdasarkan beberapa
pengertian di atas tentang media sosial, secara garis besar dan secara umum kita sudah dapat memahami apa tujuan dan
manfaat dari media sosial ini yaitu untuk memudahkan bagi manusia dalam hal
bersosialisasi, berkomunikasi, dan sebagainya.
Media sosial saat ini juga sudah banyak dijadikan sebagai ajang untuk
menunjukkan bakat, minat dan karya seseorang yang tentu saja berkaitan dengan dunia
bisnis, pekerjaan, pendapatan dan sejenisnya. Bahkan dalam dunia pendidikan pun, media sosial memiliki
peran yang sangat besar dalam hal belajar dan pembelajaran terutama ketika masa
pandemi covid-19 yang lalu.
***
Pengertian Kesehatan Mental
Menurut WHO, Kesehatan
mental didefinisikan sebagai suatu keadaan
sejahtera di mana setiap individu mampu
menyadari potensi dirinya sendiri, dapat mengatasi
tekanan hidup secara
normal, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat serta mampu untuk memberikan kontribusi
kepada komunitasnya.
Kesehatan mental merupakan bagian integral dan
esensial dari kesehatan secara keseluruhan. Hal ini dapat didefinisikan dalam
tiga hal: ada tidaknya penyakit, suatu
keadaan di mana organisme mampu berkinerja penuh sesuai dengan fungsinya, suatu
keadaan keseimbangan
antara lingkungan fisik dan sosial seseorang. Masing-masing dari ketiga
definisi ini tergantung pada kebutuhan dasar mausia seperti makanan, tempat tinggal,
kelangsungan hidup, perlindungan, masyarakat, dukungan dan kebebasan dari rasa
sakit, bahaya lingkungan, stres dan dari berbagai macam eksploitasi.
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat
dikatakan bahwa kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera dan kemampuan untuk
menyadari dan memanfaatkan potensi diri untuk hidup normal. Namun, ada banyak argumen dalam menemukan makna
universal kesehatan mental ini. Misalnya, orang terbiasa mendengar 'kesehatan mental'
sebagai eufemisme untuk 'penyakit mental.' Secara lebih rinci, persepsi masyarakat berbeda berdasarkan
budaya, geografi, dan agama. Di beberapa masyarakat, istilah 'penyakit mental' diambil sebagai
istilah negatif dan memalukan. Orang-orang mengejek pasien yang memiliki penyakit
kejiwaan. Dalam situasi ini, orang yang menjadi korban menyembunyikan penyakitnya
dari masyarakat atau karena takut diejek menggunakan istilah 'kesehatan mental'
untuk menggambarkan 'penyakit mental.' Beberapa masyarakat menganggap 'kesehatan mental' sebagai
istilah yang sopan dan positif daripada 'penyakit mental/kejiwaan.' Sehingga dari sini, definisi dari kesehatan mental dan penyakit mental tidak dapat dibedakan.
Selanjutnya menurut World Health Organization
(WHO) juga, kesehatan mental adalah keadaan pikiran yang sehat. Jika pikiran tidak
sehat, hasilnya adalah penyakit mental dan gangguan mental di mana penyakit
mental mengacu pada depresi, kecemasan, skizofrenia, gangguan bipolar, dan
gangguan mental yang
mengacu pada kecanduan alkohol dan kecanduan obat-obatan termasuk penyakit mental. Namun,
orang-orang yang hidup dengan gangguan mental juga dapat mencapai tingkat
kesejahteraan yang baik – hidup yang memuaskan, bermakna, memberikan kontribusi
hidup meskipun menanggung rasa sakit dan kesusahan. Oleh karena itu, kesehatan jiwa bukan hanya terbebas dari gangguan jiwa saja tapi istilah ini lebih luas yang mewakili gangguan mental dan penyakit
mental sebagai faktor penentunya.
***
Dampak Negatif Me-dia Sosial Terhadap Kesehatan Mental Anak dan Remaja
Selain meningkat, penggunaan media sosial oleh anak-anak dan remaja juga berkembang. Temuan terbaru dari Ofcom mengungkapkan bahwa tiga perempat (74%) dari anak berusia 12 hingga 15 tahun memiliki profil di platform media sosial. Proporsi 5 hingga 7 yang memiliki profil saat ini 3%, meningkat menjadi hampir seperempat (23%) untuk anak berusia 8 hingga 11 tahun. Penggunaan media sosial dapat memungkinkan komunikasi yang cepat, murah, dan tersembunyi antar pengguna. Faktor inilah, selain penggunaan perangkat yang lebih personal dapat membuat sangat sulit bagi orang dewasa/orang tua untuk memantau penggunaannya terhadap anak-anak mereka.
Selain memiliki dampak positip, segala sesuatu termasuk me-dia sosial juga pasti memiliki sisi gelap atau dampak negatif. Sebelum penemuan media sosial, perbuatan-perbuatan buruk masih terjadi di beberapa tempat, tetapi sekarang rasionya telah meningkat secara luar biasa. Perbuatan buruk seperti itu dulu berdampak pada lokasi tertentu, tetapi sekarang efeknya mendunia. Karena kebebasan dan kebijakan pembatasan yang tidak efektif, orang-orang juga menyalahgunakan platform me-dia sosial yang mengakibatkan dampak negatif pada kesehatan mental seperti cyberbullying dan bunuh diri, peningkatan kecemasan, harga diri rendah, dan depresi. Berikut ini beberapa dampak negatif me-dia sosial bagi kesehatan mental anak-anak dan remaja:
A. Cyberbullying
Cyberbullying (perundungan
dunia maya) menurut unicef ialah bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi
digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting,
platform bermain game, dan ponsel. Adapun menurut Think Before
Text, cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu
kelompok atau individu menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang
dari waktu ke waktu terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan
perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara
pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah
persepsi kapasitas fisik dan mental.
Cyberbullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk
menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran.
Contohnya termasuk:
- Menyebarkan
kebohongan tentang seseorang atau memposting foto memalukan tentang
seseorang di media sosial.
- Mengirim pesan atau
ancaman yang menyakitkan melalui platform chatting, menuliskan
kata-kata menyakitkan pada kolom komentar media sosial, atau memposting
sesuatu yang memalukan/menyakitkan.
- Meniru atau
mengatasnamakan seseorang (misalnya dengan akun palsu atau masuk melalui
akun seseorang) dan mengirim pesan jahat kepada orang lain atas nama
mereka.
- Trolling - pengiriman
pesan yang mengancam atau menjengkelkan di jejaring sosial, ruang obrolan,
atau game online.
- Mengucilkan,
mengecualikan anak-anak dari game online, aktivitas, atau grup pertemanan.
- Menyiapkan/membuat
situs atau grup (group chat, room chat) yang berisi kebencian tentang
seseorang atau dengan tujuan untuk menebar kebencian terhadap seseorang.
- Menghasut anak-anak
atau remaja lainnya untuk mempermalukan seseorang.
- Memberikan suara
untuk atau menentang seseorang dalam jajak pendapat yang melecehkan.
- Membuat akun palsu,
membajak, atau mencuri identitas online untuk mempermalukan seseorang atau
menyebabkan masalah dalam menggunakan nama mereka.
- Memaksa anak-anak
agar mengirimkan gambar sensual atau terlibat dalam percakapan seksual.
Bullying secara langsung atau tatap muka dan cyberbullying seringkali
dapat terjadi secara bersamaan. Namun cyberbullying meninggalkan
jejak digital – sebuah rekaman atau catatan yang dapat berguna dan memberikan
bukti ketika membantu menghentikan perilaku yang salah ini.
Bullying adalah setiap perilaku agresif yang tidak
diinginkan terhadap remaja oleh remaja atau kelompok remaja lainnya, yang bukan saudara
kandung atau pasangan kencan saat ini, yang melibatkan ketidakseimbangan
kekuatan yang dirasakan. Penindasan online
memungkinkan pelaku mendapatkan keuntungan anonimitas yang kuat. Ketika
diberikan kemampuan untuk bersembunyi di belakang layar komputer, pelaku bertindak
tanpa memperdulikan akibatnya dan merasa tidak perlu bertanggungjawab dan merasa bersalah
atas tindakan mereka tersebut. Yang terburuk dari cyberbullying ini adalah hal ini bisa terjadi
kapan saja, di mana saja secara publik atau pribadi. Perbuatan kejam seperti ini di media sosial memiliki
dampak langsung pada kesehatan psikologis orang yang menjadi target sehingga dapat menyebabkannya mengambil keputusan yang salah dengan melakukan bunuh diri dalam situasi terburuk.
B. Kecanduan Me-dia Sosial
Masalah kecanduan me-dia sosial telah menjadi masalah global di era sekarang ini. Media sosial adalah platform seperti galaksi; setiap hari kita belajar lebih banyak tentangnya, dan setiap hari ia bergerak sedikit lebih jauh. Media sosial dikembangkan untuk menyediakan platform untuk berkomunikasi pada awalnya. Sekarang mereka menawarkan begitu banyak fitur sehingga membuat manusia semakin kesulitan untuk menjauhinya. Dengan satu atau lain cara, orang terhubung ke media sosial. Penggunaan me-dia sosial yang berlebihan di masyarakat saat ini telah menciptakan masalah baru: masalah kecanduan. Kecanduan media sosial menjadi sangat serius dan telah disamakan dengan kecanduan obat-obatan keras seperti heroin dan kokain juga seperti orang yang kecanduan alkohol.
Selain itu, penelitian telah menemukan bahwa aktivitas tertentu di media sosial seperti SMS dan mendapatkan balasan, mendapatkan like, notifikasi, dan komentar positif, melepaskan zat kimia 'dopamin' yang diproduksi oleh otak yang sangat adiktif.
Dopamin adalah zat kimia yang sama yang membuat kita merasa nikmat ketika merokok, minum, nyabu dan berjudi. Jadi, me-dia sosial memberikan hal yang sama tingkat kesenangannya seperti narkoba dan perjudian yang membuat penggunanya terlibat dalam aktivitas media sosial lagi dan lagi. Inilah sebabnya mengapa objek yang membuatnya kecanduan menjadi lebih penting bagi seorang pecandu dari apapun dalam hidup mereka. Kecanduan semacam itu memiliki efek langsung pada kesehatan jiwa. Para Pecandu ini memiliki harga diri yang rendah, perasaan iri, kecemasan, gangguan tidur dan dalam situasi terburuk, mereka akan melakukan kejahatan. Ada banyak insiden mengerikan di sekitar kita dan di seluruh dunia karena kecanduan me-dia sosial ini.
C. Depresi, Kecemasan dan Harga Diri Rendah
Depresi adalah gangguan mental umum yang menyebabkan orang mengalami suasana hati yang tertekan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau harga diri rendah, tidur atau nafsu makan terganggu, energi rendah dan konsentrasi buruk.
Kecemasan adalah jenis ketakutan yang biasanya dikaitkan dengan pemikiran tentang ancaman atau sesuatu yang tidak beres di masa depan tetapi juga dapat muncul dari sesuatu yang terjadi saat ini.
Hubungan antara depresi,
kecemasan, dan harga diri rendah saling terkait. Mereka bisa terjadi kapan
saja, di mana saja dan dari apa saja. Baru-baru ini, berdasarkan hasil dari beberapa penelitian didapatkan sebuah kesimpulan bahwa penggunaan media sosial
yang berlebihan disinyalir menjadi penyebab
utama terjadinya depresi dan kecemasan.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Dr.
Heather Cleland Woods di Universitas Glasgow, 467 remaja ditanyai tentang
penggunaan me-dia sosial mereka secara keseluruhan dan pada malam hari. Hasilnya mengungkapkan
bahwa penggunaan media sosial secara keseluruhan, penggunaan khusus malam hari,
dan investasi emosional semua memiliki dampak signifikan pada kualitas tidur
terkait dengan tingkat depresi yang lebih tinggi dan kecemasan. Demikian pula,
sebuah penelitian terhadap 700 siswa sekolah menengah di Ottawa menemukan bahwa
mereka yang menggunakan situs jejaring sosial memiliki kesehatan mental yang
buruk tiga kali lebih banyak daripada mereka yang tidak menggunakannya.
Penyebab depresi dan kecemasan di antara orang-orang bervariasi tergantung pada persepsi masyarakat terhadap media sosial. Fear of Missing Out (FOMO) adalah salah satu alasan orang menggunakan media sosial saat ini.
FOMO berarti takut kehilangan di antara kelompok teman, keluarga, dan serikat pekerja tertentu. Ia juga takut tidak diperhatikan. FOMO membuat pengguna kembali ke media sosial berulang kali yang bahkan dapat menyebabkan kecanduan dan kemudian menjadi depresi. Sering memeriksa pesan bahkan ketika tidak ada pesan, mengawasi bilah notifikasi sepanjang waktu adalah gejala FOMO. Dalam TEDx Talks with Bailey Parnell, dia mengatakan bahwa kami tidak mengabaikan hal-hal sederhana seperti mengobrol, menandai, mengecek notifikasi, dan selfie di media sosial karena kegiatan ini menyenangkan untuk kami, tetapi masalahnya adalah tindakan seperti itu berulang. "Ketika momen mikro terjadi, dan berjalan terus seiring waktu, saat itulah kita memiliki masalah makro," lanjutnya. Di sini, ia menyebut masalah makro sebagai depresi.
Menurut laporan WHO (2018), Depresi adalah
gangguan mental umum dengan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia yang tertimpa. Ketika depresi berada pada situasi terburuknya, hal itu dapat
menyebabkan bunuh diri. Dalam laporan yang sama juga dikatakan bahwa bunuh
diri merupakan penyebab kematian nomor dua pada usia 15-29 tahun dan setiap
tahun sekitar 800.000 orang meninggal karena bunuh diri.
Orang yang depresi memiliki tingkat gangguan kecemasan dan harga diri yang rendah juga. Penyebab depresi, kecemasan, dan harga diri rendah melalui me-dia sosial dapat berupa pelecehan online, pemerasan, teks atau visual yang tidak pantas, kecanduan like dan komentar dan suka membandingkan dengan teman-teman yang memiliki kehidupan yang lebih baik yang tampak pada situs jejaring sosial mereka.
Dalam beberapa tahun
terakhir, para sarjana telah melakukan berbagai studi empiris yang menyelidiki
sebab dan akibat depresi dalam konteks penggunaan media sosial: intensitas penggunaan
media sosial, komunikasi online, dan ancaman online. Dalam sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Lin et al. (2016), ditemukan bahwa penggunaan media sosial
secara signifikan berhubungan dengan depresi. Dalam jenis survei yang serupa oleh Scherr dan Brunet
(2017), hasilnya menunjukkan pengguna yang mengalami depresi cenderung menghabiskan lebih banyak waktu di Facebook.
Dalam perspektif lain, membandingkan dengan teman
di me-dia sosial juga merupakan penyebab meningkatnya depresi, kecemasan, dan harga diri
rendah. Belakangan ini, standar yang mustahil ditetapkan lebih dekat ke sekitar rumah,
bukan lagi oleh selebritas dan model, tetapi oleh teman sekelas dan lingkaran teman-temannya. Standar ini untuk beberapa orang telah menjadi mimpi buruk karena ketika mereka melihat
teman mereka di media sosial lebih cantik dari mereka dan banyak orang yang memuji
kecantikan mereka, orang akan merasa bahwa mereka tidak semenarik teman-temannya. Hal ini menciptakan masalah body shaming.
Body image (pencitraan tubuh). Citra tubuh adalah masalah bagi banyak anak muda, baik pria maupun wanita, terutama wanita di usia remaja dan awal dua puluhan. Sebanyak sembilan dari 10 remaja putri mengatakan mereka tidak bahagia dengan tubuh mereka.
Ada 10 juta foto baru yang diunggah ke Facebook setiap jam, memberikan potensi
yang hampir tak ada habisnya bagi wanita muda untuk ditarik ke dalam
perbandingan berdasarkan penampilan saat
online. Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika gadis dan wanita muda di usia
remaja dan awal dua puluhan melihat Facebook hanya dalam waktu singkat,
kekhawatiran tentang citra tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan non-pengguna.
Sebuah studi juga menunjukkan bahwa gadis-gadis mengekspresikan keinginan yang tinggi untuk
mengubah penampilan mereka seperti wajah, rambut dan/atau kulit setelah
menghabiskan waktunya di Facebook.
Yang lain berpendapat bahwa media sosial berada di balik kebangkitan generasi muda yang memilih untuk melakukan operasi kosmetik/plastik agar terlihat lebih baik di foto, yang berimplikasi pada kesehatan fisik melalui operasi invasif yang tidak perlu. Sekitar 70% dari usia 18-24 tahun akan mempertimbangkan untuk memilih prosedur bedah kosmetik/plastik.
Beberapa dekade terakhir telah terlihat peningkatan diskusi dan kesadaran akan dampak gambar perempuan dan anak perempuan yang kita lihat di TV dan media tradisional lainnya. Namun, sangat sedikit penelitian dan fokus yang telah diarahkan pada dampak media sosial terhadap kaum muda kita dalam hal citra tubuh. Mengingat betapa banyak anak muda yang menggunakan media sosial dan betapa banyak gambar yang mereka lihat setiap hari, penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang konsekuensi me-dia sosial terhadap citra tubuh.
Sebuah penelitian juga menunjukkan
adanya efek yang signifikan terhadap peningkatan dalam citra tubuh setelah
diberi foto-foto dan gangguan makan dalam kelompok eksperimen dibandingkan
dengan kelompok kontrol pada siswa laki-laki dan perempuan seminggu setelah
dilakukan eksperimen. Maksudnya adalah adanya hubungan antara keinginan
meningkatkan citra tubuh setelah melihat foto-foto tertentu dengan gangguan
pola makan karena untuk meningkatkan citra tubuh mereka tentu harus
memperhatikan makanannya sehingga menyebabkan adanya gangguan dalam pola makan.
Aspek lain dari media sosial adalah kumpulan peristiwa-perintiwa penting yang menjadi sorotan. Ini berarti menunjukkan momen terbaik dan paling patut ditiru sambil
menyembunyikan upaya dan elemen umum dari kehidupan biasa/nyata — kumpulan peristiwa yang menjadi sorotan seseorang
di dekatnya menyebabkan rendahnya harga diri bagi banyak orang. Hasilnya adalah orang-orang mencoba untuk
menghindari bersosialisasi dalam kehidupan nyata.
Oleh karena itu, hubungan antara depresi, kecemasan, dan harga diri rendah sangat erat terkait. Depresi dapat menyebabkan stres dan harga diri rendah, kecemasan dapat menyebabkan depresi dan harga diri rendah dan sebaliknya. Dan yang lebih ironis lagi adalah media ini malah dapat mengisolasi mereka secara sosial. Bisa dikatakan populer di dunia maya tapi aslinya sendirian di dunia nyata dan bisa menyebabkan mereka merasa kesepian yang semakin parah.
Ashford (2017), menemukan bahwa individu mungkin
mengalami perasaan isolasi sosial, depresi, ketidak-amanan, kecemburuan, dan
harga diri yang buruk saat menggunakan me-dia
sosial. Beberapa individu mengembangkan distorsi kognitif ketika membandingkan
kehidupan mereka dengan konten pengguna lain, yang dapat menyebabkan perasaan
sedih dan depresi.
Selain itu, ketika seseorang melihat teman-temannya di media sosial suka merayakan dan menyebarkan moment-moment penting dalam hidupnya seperti pesta ulang tahun atau acara apapun, orang lain yang melihatnya mungkin akan timbul rasa iri, merasa rendah diri, stress, depresi dan seterusnya ketika tidak bisa melakukan hal-hal sama seperti yang dilakukan oleh teman-temannya yang menjadi sorotan, mendapat pujian, mendapat banyak like, banyak komen dan seterusnya. Akhirnya dia akan berusaha keras meniru apa yang dilakukan oleh teman-temannya walaupun mungkin hal itu memberatkan bagi dirinya. Yach, namanya juga demi pencitraan dan agar merasa diterima dikomunitas dan lingkungan sekitar pertemanannya.
Dampak negatif lainnya lagi adalah adanya foto-foto atau video yang sebenarnya direkayasa hanya untuk menaikkan harga diri dan image seseorang tujuannya tidak lain hanya untuk mendapatkan like, komen, pujian dan seterusnya walaupun secara kehidupan nyata hal itu hanyalah kebohongan belaka. Tapi memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak manusia yang suka hidup dalam kepalsuan dan takut tidak diterima oleh orang lain karena dirinya tidak sama dengan mereka sehingga tujuan hidup mereka tidak lain hanya untuk mendapatkan pujian, like, komen yang menyenangkan dan merasa diterima oleh komunitasnya. Tidak heran jika mereka suka memamerkan apapun yang mereka miliki agar dianggap 'wow', mendapat pujian, di sukai/like dll oleh komunitas dan teman-temannya. Jadi, jangan terlalu percaya dengan semua yang ada di me-dia sosial.
Apa yang tertulis di sini hanya sebagian kecil yang dapat kami paparkan, jika Anda penasaran dan ingin menggali informasi tentang hal ini lebih mendalam lagi, Anda bisa membaca dan merujuk referensi yang ada dibawah ini.
***
Sumber referensi:
Cramer,
Shirley. 2017. Status of Mind: Social media
and young people’s mental health. RSPH.
Dubicka,
Bernadka. 2020. College
Report CR225: Technology use and the mental health of children and
young people. Royal College of Psychiatrists.
Goodyear, A.
Victoria and Kathleen M. Armour. 2019. Young People, Social Media and Health. NY
: Routledge
Hatch, E.
Kristina. 2011. Determining
the Effects of Technology on Children. Senior
Honors Projects. Paper 260. http://digitalcommons.uri.edu/srhonorsprog/260http://digitalcommons.uri.edu/srhonorsprog/260
Jordan, Amy B. 2014. Media and
the Well-Being of Children and Adolescents. New York: Oxford University Press.
Kennedy, Katie. 2019. Positive and Negative Effects of
Social Media on Adolescent Well-Being. Master’s thesis. Minnesota State University, Mankato.
Koehler,
Sarah Nichole and Parrell, Bobbie Rose. 2020. THE IMPACT OF SOCIAL MEDIA ON
MENTAL HEALTH: A MIXED-METHODS RESEARCH OF SERVICE PROVIDERS’ AWARENESS.
Electronic Theses, Projects, and Dissertations. 1012. https://scholarworks.lib.csusb.edu/etd/1012
M, Sundus. 2018. The Impact of using Gadgets on
Children. Journal of Depression and Anxiety. 7:1. DOI: 10.4172/2167-1044.1000296
Moreno, A.
Megan and Ana Radovic. 2018. Technology and Adolescent Mental Health.
Switzerland: Springer International Publishing
Nakaya,
Andrea C. 2015. Internet and Social Media Addiction. CA: ReferencePoint Press
OECD.
2018. Children
& Young People’s Mental Health in the Digital Age. OECD Publishing.
Odgers,
C.L. and Jensen, M.R. 2020. Annual Research Review: Adolescent mental health in
the digital age: facts, fears, and future directions. Journal of Child
Psychology and Psychiatry. doi:10.1111/jcpp.13190
Ormerod,
Katherine. 2018. Why Social Media is Ruining Your Life. London: Octopus
Publishing Group Ltd.
Strasburger,
Victor C., dkk. 2014. Children, Adolescents,
and the Media. USA:
SAGE
_______2012.
Children, Adolescents, and the Media. Clinics
Review Articles. Pediatric Clinics of North America.
Stephen, Ross and Rhys Edmonds. 2018. Briefing
53: Social media, young people and mental health. Centre for Mental Health.
Sheldon,
Pavica, dkk. 2019. The Dark Side of Social Media. London: Academic Press An
imprint of Elsevier.
Thapa, Bisu. 2018. Impacts
of Social media on Mental Health: A case study with students at Oulu University
of Applied Sciences. Bachelor’s
Thesis. Business Information Technology Oulu
University of Applied Sciences.
The Children’s Society. 2018. Safety
Net: Cyberbullying’s impact on young people’s mental health. Inquiry report.
Komentar
Posting Komentar