Pintu-Pintu Masuknya Setan (Pintu Kedua: Kemarahan)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
source Pinterest |
🌷Marah termasuk salah satu pintu
terbesar setan untuk masuk dan menggoda, dan tipu dayanya sangat ampuh.
Sebab, setan dapat mempermainkan orang yang sedang marah sebagaimana halnya
anak-anak yang mempermainkan bola. Ini terbukti dari apa yang sering kita
lihat.
Abu Hamid
Al-Ghazali berkata,“Ketika seseorang marah, udara kotor akan naik dari
saluran-saluran darah di dalam hati menuju otaknya. Ia akan sampai pada saluran
pemikiran (otak). Bahkan, ia akan menyebar sampai pada saluran panca indera
sehingga matanya menjadi kelam dan tidak dapat melihat. Baginya, seluruh isi dunia serasa
hitam pekat. Otaknya seperti gua yang di dalamnya terdapat gejolak api yang
berkobar. Layaknya udara hitam yang memenuhi rumah, sehingga serasa bergejolak
dan semua sudutnya dipenuhi asap. Terkadang, gejolak amarah ini semakin
bergolak hingga memadamkan kedamaian dan ketenangan yang dapat menghidupkan
hati. Pada akhirnya, sang pengidap marah meninggal dalam keadaan marah."
Allah Ta’ala berfirman,“Sedangkan apa (kenikmatan) yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, dan juga (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi maaf.” (QS. Asy-Syura: 36-37).
Marah adalah; gejolak darah
yang ada di hati untuk balas dendam.
Kekuatan amarah
tempatnya di hati. Kekuatan itu dapat diarahkan ketika bergejolak, yaitu untuk
menolak perkara-perkara yang mengganggu sebelum terjadi, atau balas dendam
setelah perkara-perkara itu terjadi. Balas dendam merupakan bahan utama
kekuatan tersebut, dengan membalas dendam dia merasa senang dan tenang.
Marah adalah
percikan api dari api Allah Ta’ala yang menyala dan itu tersimpan dalam hati.
Marah akan dikeluarkan oleh kesombongan yang terpendam di dalam hati setiap
orang yang zhalim, seperti dikeluarkannya batu api dari besi. Dan setan paling
mampu menguasai anak Adam ketika marah.
Di antara hasil
amarah adalah kedengkian dan hasad; karena kedengkian dan hasad itu binasalah
orang yang binasa, dan rusaklah orang yang rusak.
Kesabaran adalah
kunci setiap kebaikan, sedang amarah adalah kunci setiap keburukan. Orang yang
mudah marah akan terseret kepada kehinaan.
Allah Ta’ala telah
menciptakan tabiat amarah dari api dan menanamkannya di dalam tubuh manusia.
Jadi, apabila manusia dihalang-halangi untuk sampai pada tujuan dan
kebutuhannya, maka api amarahnya akan menyala dan berkobar sehingga darah dalam
hatinya pun mendidih, lalu menyebar di seluruh urat, kemudian naik ke permukaan
tubuh seperti naiknya api, dan seperti naiknya air yang mendidih di dalam
panci. Oleh karena itu darah naik ke wajah sehingga wajah dan mata menjadi
merah, begitu juga dengan kulit.
Sungguh darah itu
akan cepat mengalir dan menyebar apabila seseorang marah kepada orang yang
lebih rendah darinya, dan dia merasa mampu untuk melampiaskannya. Namun, jika
dia marah kepada orang yang lebih tinggi darinya dan merasa putus asa untuk
membalasnya, maka darah itu akan tertekan dari kulit menuju rongga hati, dan
dia pun menjadi sedih, sehingga kulitnya menjadi pucat.
Lalu jika dia marah
kepada orang yang sepadan dengannya, dan ia ragu untuk membalas dan
melampiaskannya, maka darah itu pun akan ragu antara tertekan dan teralirkan,
sehingga dia menjadi merah, pucat, dan terguncang.
Amarah manusia ada
tiga tingkatan:
1. Lemah.
2. Berlebihan.
3. Stabil.
Marah yang lemah adalah seseorang tidak memiliki kekuatan amarah, atau memilikinya tapi sangat lemah, itu marah yang tercela. Barangsiapa yang sama sekali tidak memiliki kekuatan amarah dan fanatisme, maka dia sangat kurang. Allah Ta’ala telah mensifati Rasul-Nya dan kaum mukminin yang bersamanya, yaitu para shahabat Radhiyallahu Anhum, dengan sifat keras (tegas) dan fanatisme. Allah Ta’ala berfirman:“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29)
Marah yang berlebihan adalah seseorang dikuasai oleh sifat amarahnya sampai keluar dari garis agama dan ketaatan, dan dia tidak lagi memiliki kesadaran dan perhatian. Apabila api amarahnya menyala dan berkobar, maka dia menjadi buta dan tuli, sehingga tidak dapat mendengar nasehat. Apabila dia dinasehati oleh seseorang, dia tidak mau mendengarnya, bahkan nasehat tersebut membuatnya semakin marah. Sehingga cahaya akalnya menjadi padam disebabkan oleh asap amarahnya.
Pikiran manusia
tersimpan di dalam otak. Asap hitam akan naik ke otak dan menguasai tempat
penyimpanan pikiran ketika amarah semakin memuncak, disebabkan darah hati
mendidih. Bahkan bisa jadi asap itu menutupi tempat penyimpanan inderanya,
sehingga matanya menjadi gelap dan dia tidak dapat melihat dengan matanya, dan
dunia menjadi hitam kelam.
Di antara pengaruh
amarah yang nampak pada zhahir seseorang:
1. Warna wajahnya berubah
2. Jari jemarinya bergetar hebat
3. Gerakan dan tutur katanya goyah
4. Banyak gerakan dan perbuatannya tidak normal seperti biasa, sehingga busa nampak terlihat di sudut-sudut bibirnya dan bola matanya menjadi merah.
Keburukan yang ada
pada batin orang yang marah lebih besar daripada keburukan yang nampak pada
zhahir tubuhnya; karena zhahir tubuh merupakan tanda dari batinnya. Yang
pertama kali buruk adalah batinnya, lalu tersebarlah keburukan itu ke
zhahirnya.
Sedangkan pengaruh
amarah pada lisan adalah mudah memaki dan berkata-kata kotor, yang tidak pantas
diucapkan oleh orang yang berakal.
Adapun pengaruh
amarah pada anggota tubuh adalah memukul, menyerang, merobek, membunuh, dan
melukai ketika dia mampu melakukannya tanpa mempedulikan suatu apa pun. Apabila
orang yang dia marahi itu melarikan diri darinya, atau dia tidak kuasa
melampiaskan amarahnya kepadanya, maka dia pun akan marah kepada dirinya
sendiri dan merobek pakaiannya, menampar pipinya, tersungkur di atas tanah,
menghancurkan apa yang ada ditangannya, dan lain sebagainya seperti yang banyak
terjadi.
Pengaruh amarah
pada hati terhadap orang yang dia marahi adalah kedengkian, hasad, menyimpan
keburukan, merasa gembira atas bencana yang menimpanya, merasa sedih atas
kesenangan yang diperoleh olehnya, dan bertekad untuk menyebarkan rahasianya
dan merusak kehormatannya, juga keburukan-keburukan lainnya.
Itulah bahaya dan
mudharat dari amarah yang berlebihan.
Adapun bahaya dan
mudharat dari amarah yang lemah adalah minimnya usaha untuk mencegah
orang-orang yang berusaha lancang terhadap para mahram dan istrinya, ia rela
menanggung kehinaan, dan tidak marah terhadap perkara haram yang dilakukan di
hadapannya.
Amarah yang stabil
adalah amarah yang terpuji, yaitu amarah yang menunggu isyarat akal dan Agama.
Amarah itu akan bangkit ketika keadaan memang mengharuskannya bangkit, dan akan
mereda ketika kesabaran lebih baik dia lakukan. Yang membuat amarah itu tetap
stabil adalah keistiqamahan yang telah Allah Ta’ala bebankan kepada para
hamba-Nya.
Barangsiapa yang
amarahnya cenderung kepada futur, sampai dirinya merasa lemah dan rela
menanggung kehinaan bukan pada tempatnya, maka seyogianya dia mengobati dirinya
sampai amarahnya kembali menguat.
Barangsiapa yang amarahnya berlebihan sampai membuatnya melakukan sesuatu tanpa perhitungan, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang kotor, maka seyogianya dia segera mengobati dirinya untuk mengurangi amarahnya dan berdiri di antara dua sisi, yaitu jalan yang lurus. Jalan tersebut lebih tipis daripada helai rambut, dan lebih tajam daripada mata pedang. Lalu jika dia tidak mampu melakukannya, maka hendaknya dia mendekati jalan tersebut. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda: "Orang yang kuat bukanlah orang yang selalu menang dalam bergulat. Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (Muttafaq Alaih)
Orang yang tidak mampu melakukan semua kebaikan bukan berarti dia pantas untuk melakukan semua keburukan. Akan tetapi sebagian keburukan lebih ringan daripada sebagian yang lain, dan sebagian kebaikan lebih tinggi tingkatannya daripada sebagian yang lain.
Seseorang apabila sesuatu yang disukainya dirampas darinya, maka pastilah dia akan marah. Dan apabila dia diperlakukan dengan tidak baik, maka pastilah dia akan marah. Barangsiapa yang tubuhnya dipukul dan dilukai dengan sengaja, maka pasti dia akan marah. Demikian juga apabila pakaiannya, hartanya, atau makanannya diambil dengan paksa, maka pasti dia akan marah. Seorang manusia tidak akan mau kehilangan perkara-perkara yang sangat dia butuhkan dan dia akan marah kepada siapa pun yang sengaja menghalang-halanginya.
Cara selamat dari
api amarah adalah menghapus kecintaan terhadap dunia dari dalam hati, dan itu
dengan mengetahui penyakit-penyakit dunia dan malapetakanya.
Ada beberapa
perkara yang dapat membangkitkan amarah, yaitu:
Keangkuhan, rasa ujub, senda gurau, kelakar, ejekan, perdebatan, ingkar janji, tamak terhadap harta dan jabatan, dan akhlak-akhlak buruk lainnya yang dicela oleh syariat. Seseorang tidak akan selamat dari api amarah jika perkara-perkara tersebut masih ada pada dirinya. Perkara-perkara tersebut dapat dihilangkan dengan lawannya yaitu: Di mana seseorang mematikan keangkuhannya dengan sikap tawadhu’ dan sikap ujub dengan mengetahui kekurangan diri sendiri. Senda gurau dihilangkan dengan menyibukkan diri dengan urusan-urusan Agama yang menghabiskan umur kita. Kelakar dihilangkan dengan kesungguhan dalam mengerjakan fadha`il a’mal, akhlak-akhlak yang mulia, dan ilmu agama yang dapat mengantarkan kita kepada kebahagiaan akhirat. Mengejek dan menghina dapat dihilangkan dengan cara memuliakan orang lain dan menjaga diri dari ejekan orang lain, juga dengan menghindari ucapan yang buruk dan menjaga diri dari pahitnya balasan. Sifat tamak dapat dihilangkan dengan qana’ah (merasa puas) dengan kadar yang dibutuhkan demi mencari kemuliaan dan menghindar dari kehinaan.
Apabila seorang
hamba telah mengetahui petaka akhlak yang buruk itu, maka jiwanya akan membenci
akhlak-akhlak tersebut dan menghindar dari keburukannya. Apabila dia
membiasakan dirinya untuk berhias dengan akhlak-akhlak yang baik dalam waktu
yang lama, maka akhlak-akhlak tersebut akan menjadi bagian dari jiwanya.
Apabila dia telah melepaskan akhlak-akhlak yang buruk itu dari jiwanya, maka
dia telah bersih dan suci dari akhlak-akhlak tersebut dan selamat dari api
amarah yang biasa timbul karenanya.
Dengan cara itulah
kita dapat memadamkan api amarah dan memutus sebab-sebabnya, agar tidak mudah
berkobar. Lalu apabila api amarah berkobar, kita dapat mengobatinya dengan dua
perkara. Yakni dengan ilmu dan dengan amal perbuatan.
Adapun mengobati
amarah yang berkobar dengan ilmu, maka itu dilakukan dengan mengetahui enam
perkara:
Pertama,
seseorang mengetahui bahwa menahan emosi, memberi maaf, bersikap lemah lembut,
dan bersabar akan mendatangkan banyak pahala baginya. Sehingga ambisinya yang
besar untuk memperoleh pahala mencegahnya dari melampiaskan amarahnya dan
membalas dendam, sehingga emosinya pun segera terpadamkan.
Sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,
serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
Kedua, seorang
hamba membuat dirinya takut terhadap hukuman Allah Ta’ala, di mana dia berkata,
“Kekuasaan Allah Ta’ala atas diriku lebih besar daripada kekuasaanku atas orang
tersebut. Seandainya aku melampiaskan amarahku kepadanya, maka boleh jadi Allah
Ta’ala akan melampiaskan amarah-Nya kepadaku pada hari Kiamat. Padahal aku
ketika itu lebih membutuhkan maaf-Nya.”
Ketiga, seseorang
memperingatkan dirinya tentang akibat permusuhan, balas dendam, dan kesigapan
musuhnya dalam mengganggu dan menyakiti dirinya. Sehingga dia pun membuat
dirinya takut terhadap akibat amarah di dunia, dan bencana serta permusuhan
yang ditimbulkan olehnya.
Keempat, seseorang memikirkan tentang keburukan rupanya ketika dia melampiaskan amarahnya, yaitu dengan membayangkan rupa orang ketika marah. Juga memikirkan tentang keburukan amarah pada jiwanya, dan menyerupakan orang yang marah dengan anjing galak. Sedangkan orang yang sabar (tidak pemarah) serupa dengan para nabi, para ulama, orang-orang bijak, dan orang-orang sabar. Sehingga dia pun lebih memilih penyerupaan yang dipuji oleh Allah Ta’ala dan dipuji oleh manusia.
Kelima, seseorang memikirkan tentang sebab yang mendorongnya untuk balas dendam dan mencegahnya dari menahan emosi, lalu dia pun menolak sebab tersebut dan tidak mempedulikannya. Misalnya, setan berkata kepadanya, “Sesungguhnya tidak membalas dendam akan membuatmu lemah dan menjadikanmu hina di mata manusia.” Lalu dia pun berkata kepada dirinya sendiri, “Manakah yang lebih berat, menanggung beban kehinaan itu sekarang, atau menanggung beban kehinaan pada hari Kiamat ketika Allah Ta’ala menyiksamu dan balas dendam terhadapmu?! Apakah kamu takut menjadi hina di mata manusia dan tidak takut menjadi hina di sisi Allah Ta’ala, para malaikat, dan para nabi?!”
Keenam, seseorang
mengetahui bahwa amarah Allah Ta’ala kepada dirinya lebih besar daripada amarah
dirinya sendiri, karena dia menyelisihi perkara yang diperintahkan oleh Allah
Ta’ala.
Adapun mengobati
amarah dengan amal perbuatan, maka dengan cara mengucapkan ta’awwudz (A’uudzu
billaahi min asy-syaithaani ar-rajiim).
“Ada dua lelaki saling mencela di dekat Nabi ﷺ, salah seorang dari mereka mencela temannya dalam keadaan marah wajahnya pun memerah. Maka Nabi ﷺ melihatnya lalu bersabda, “Sungguh aku benar-benar mengetahui satu ucapan, yang apabila dia mengucapkannya, maka amarahnya itu akan hilang darinya, yakni ‘A’uudzu billaahi minasy-syaithaani ar-rajiim (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk’.” (Muttafaq Alaih)
Jika amarahnya belum hilang dengan mengucapkan ta’awwudz, maka hendaknya dia duduk bila sebelumnya dia dalam posisi berdiri, atau berbaring bila sebelumnya dia duduk; karena sebab amarah itu adalah hawa panas, dan sebab hawa panas itu adalah gerakan; dan orang yang berdiri dan juga orang yang duduk adalah orang yang siaga untuk melancarkan balas dendamnya.
Jika ternyata
amarah itu belum hilang, maka hendaknya dia berwudhu dengan air yang dingin,
atau mandi; karena api tidak dapat dipadamkan kecuali dengan air. Diam di saat
marah juga termasuk di antara perkara-perkara yang dapat menghilangkan pengaruh
keburukan, begitu juga menahan emosi.
Apabila amarah
tersebut tertahan karena tidak mampu untuk dilampiaskan pada saat itu, maka
amarah tersebut akan kembali ke dalam batin dan terpendam di dalamnya, sehingga
menjadi kedengkian.
Kedengkian akan
membuat dia membenci dan menghindari orang yang membuat dia marah, dan dia akan terus
seperti itu. Jadi, kedengkian adalah buah hasil dari kemarahan.
Kedengkian akan
menyeret seseorang kepada hasad, yang dengannya dia mengharap hilangnya
kenikmatan dari orang lain dan merasa gembira atas bencana yang menimpa orang
lain. Lalu dia akan mengacuhkannya, memutus hubungan dengannya, berpaling
darinya lantaran merendahkannya, membicarakannya dengan hal-hal yang tidak
halal seperti dusta, ghibah, dan menyebarkan rahasia, memperolok-oloknya, dan
terkadang dia pun menyakitinya dengan pukulan dan menghalang-halanginya dari
haknya, seperti pelunasan hutang, mengembalikan kezhaliman, atau menyambung
tali persaudaraan. Itu semua haram.
Obat kedengkian adalah orang yang didengki berbuat baik kepada orang yang mendengki dengan memaafkannya, menyambung persaudaraan dengannya, mendoakan kebaikan untuknya, dan berbuat kebajikan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 34-35) Penyakit-penyakit tersebut muncul di dalam jiwa manusia, menyebar di tengah-tengah umat Islam, dan dijadikan perangai oleh banyak orang. Itu semua terjadi dikarenakan kita tidak berdakwah kepada Allah Ta’ala, tidak memerintahkan kepada kebaikan, tidak mencegah dari kemungkaran, tidak memberikan nasehat kepada setiap muslim, dan tidak istiqamah di atas perintah Allah Ta’ala.
Sehingga keimanan pun menjadi lemah, lalu jiwa menjadi zuhud terhadap amal-amal shalih, menolak akhlak-akhlak yang mulia, dan berakhlak dengan akhlak-akhlak setan dan hewan ternak. Selanjutnya jiwa-jiwa itu mengajak yang lainnya kepada akhlak-akhlak tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53)
Seorang muslim dapat menyelamatkan dirinya dari penyakit kedengkian, kedongkolan, dan yang sejenisnya dengan beberapa perkara yaitu hendaknya dia mengingat, bahwa pada kedengkian dan kedongkolan terdapat permusuhan, dosa, dan hilangnya pahala.
Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Pintu-pintu surga selalu dibuka pada hari Senin dan hari Kamis, lalu setiap hamba yang tidak berbuat kesyirikan sedikit pun kepada Allah Ta’ala akan diberikan ampunan, kecuali seorang yang memiliki perselisihan dan kebencian antara dirinya dengan saudaranya (seiman). Maka Allah Ta’ala berfirman, “Tundalah kedua orang itu sampai mereka berdamai! Tundalah kedua orang itu sampai mereka berdamai! Tundalah kedua orang itu sampai mereka berdamai!” (HR. Muslim)
Hendaknya dia mengetahui bahwa memberi maaf dan berdamai mengandung banyak kebaikan bagi pemberi maaf, dan kemaafan tidak akan menambahkan seorang hamba kecuali kemuliaan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sedekah tidaklah mengurangi harta sedikit pun. Allah Ta’ala tidaklah menambahkan seorang hamba dengan kemaafannya kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah Ta’ala, melainkan Allah Ta’ala akan mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim)
Hendaknya dia mengetahui bahwa kedengkian dan kedongkolan termasuk di antara sebab yang dapat membuat setan bergembira, yakni menyebabkan perpecahan umat Islam. Allah Ta’ala berfirman,“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al-Maidah: 91)
Ya Allah, berikanlah ketakwaan dan kesucian pada jiwa-jiwa kami, karena Engkaulah sebaik-baik Dzat yang menyucikannya, dan Engkaulah Penolong serta Pembelanya. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu jiwa yang tenteram, yang beriman kepada perjumpaan dengan-Mu, yang ridha terhadap ketentuan takdir-Mu, dan sabar terhadap bencana-Mu.
Baca selanjutnya, Pintu Masuknya Setan Bagian Ketiga: Hawa Nafsu, Syahwat dan Lainnya
Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits
At-Tuwaijiri, Muh. bin Ibrahim bin Abdullah. 2014. Ensiklopedi Manajemen Hati Jilid 4. Jakarta: Darus Sunnah
Adham, Ibrahim Kamal. 2009. Kupas Tuntas Jin & Sihir. Jakarta: Darus Sunnah
Al-Asyqar, Umar Sulaiman. 2017. Rahasia Alam Malaikat, Jin dan Setan. Jakarta: Qisthi Press
As-Suyuthi, Imam. 2006. Jin. Jakarta: Darul Falah
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2017. Miftah Daris Sa’adah Kunci Kebahagian di Dunia dan Akherat Jilid 1. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i
____________________. 1998. Madarijus Salikin (Pendakian Munuju Allah) Penjabaran Kongkrit Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
____________________. 2012. Fawaidul Fawaid: Menyelami Samudra Hikmah dan Lautan Ilmu Menggapai Puncak Katajaman Batin Menuju Allah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Amri, Yasir dan Syahirul Alim Al-Adib. 2012. Sendiri Mengusir Gangguan Jin. Solo: Aqwam
Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2003. Alam Jin Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah (Bantahan terhadap buku: Dialog Dengan Jin Muslim). Jakarta: Darul Qolam.
Arifuddin. 2015. Ruqyah Syar'iyyah Tanpa Kesurupan Seri 1. Malang: YBM
Amin, Abul-Mundhir Khalil ibn Ibrahim. 2005. The Jinn and Human Sickness Remedies in the Light of the Qur'an and Sunnah. Riyadh: Darussalam.
As-Sadhan, Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah. 2013. Adab dan Kiat Dalam Menggapai Ilmu. Jakarta: Darus Sunnah
Bali, Wahid Abdussalam. 2014. Ruqyah: Jin, Sihir & Terapinya. Jakarta: Ummul Qura.
______________. 2005. Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i
bin Najar, Nashir bin Ahmad. 2016. Mengatasi Sihir dan Kesurupan Sesuai Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Solo: Thibbia
Jauzi, Ibnul. 2014. Talbis Iblis. Jakarta: Darus Sunnah.
Philips, Abu Aminah Bilal. 2012. Ibn Taymiyah's Essay on The Jinn (Demons). IIPH
Komentar
Posting Komentar